Kelompok musik asal Tangerang-Jakarta, Mengigau mengenalkan dirinya ke publik lewat single bertajuk “Komuterlelap”. Lagu ini sengaja dipilih sebagai debut karena dapat mewakilkan karakter khas Mengigau; tema yang dekat dengan masyarakat urban, bunyi yang mentah, dan nuansa frustrasi akibat relasi kerja yang timpang. Produksinya dilakukan sedemikian rupa untuk mencapai perasaan otentik yang para personil rasakan setiap pulang kerja.
Secara musikal, Mengigau tidak menargetkan untuk mencipta bebunyian yang baru di genre post-punk. Produksi lagu ini ditujukan secara khusus untuk menerjemahkan nuansa frustrasi yang dirasakan banyak orang dalam perjalanan pulang kerja. Riff gitar dibuat repetitif, bass dibuat lebih melodis untuk menambah kesan lullaby, drum menjadi pemandu untuk membangun rasa frustrasi sampai ke puncaknya, sedangkan vokal terinspirasi oleh lantunan tahlil – yang monoton namun dapat menciptakan dampak transendental.
Melalui arahan tersebut, “Komuterlelap” menjadi track yang mungkin akan terasa monoton dan membosankan (persis seperti rutinitas). Namun, kehadirannya tetap penting, setidaknya sebagai catatan musikal dan emosional tentang pengalaman sehari-hari kelas pekerja di Jakarta, maupun latar urban lainnya.
Catatan Produksi
Awalnya, lagu ini merupakan tembang bergenre pop-folk yang ditulis oleh drummer, Gilang Nugroho setelah menyaksikan banyak komuter yang tertidur sepanjang perjalanan pulang kerja di kereta pada 2021. Gilang mencatat kesaksiannya melalui dua verse, tanpa chorus:
“lintasi ruang dan waktu
kilometer per jam berpacu
motor, mobil dan kereta
MRT dan Transjakarta”
Nuansa kelelahan yang muncul dari struktur lagu awal, menginspirasi pemain gitar/vokal, Faris Dzaki untuk mengembangkannya ke nuansa post-punk. Faris coba menerjemahkan nuansa itu melalui pengulangan diksi “dan terlelap” yang kemudian berfungsi sebagai chorus. Nuansa tadi kembali ditekankan dengan tambahan rangkaian lirik serupa mozaik tentang segala memori aktivitas pulang-pergi:
banting tulang, babak belur
kiat sukses hancur lebur
demi jiwa yang melenyap
tanah dan abu dan asap
dan terjaga dan bersiap
merangkak atau merayap
Riff gitar pun dibuat sederhana dan monoton, karakternya hanya dipertegas melalui gerakan slide untuk mencipta kesan ‘pergerakan/motion’ yang jadi motif utama lagu.
Ketika diramu di studio, pemain bass, Juple memilih lick bass yang melodis untuk mengisi ruang negatif di frekuensi rendah. Menimbulkan kesan lagu yang melantun, seperti “nina bobok”.
Produser sekaligus gitaris Irsyad Nabil, menentukan karakter khas suara dan frekuensi dalam lagu. Mendampingi track gitar Faris dengan track gitar lain yang memiliki karakter suara lebih tebal. Irsyad merancang suara fuzz yang hadir di tiap chorus yang memberi dampak lebih besar untuk mencapai dinamika yang dituju.