Sambutlah The Jems, peluru
hardcore asal Tangerang. The Jems sendiri lahir dari sebuah warung kecil disebuah
gang di Tangerang yang biasa disebut anak-anak muda sekitar dengan sebutan
‘Warung Basmen’. Ditengah rumit dan padatnya kehidupan selulus SMA Afrizal Aji
Bayu (Bass), dan Dito Raharjo (Vocal) sepakat membetuk sebuah band yang
diperuntukan untuk tuangan emosi serta kejenuhan sehari-hari. Selepas itu Kesid
Mukti (Gitar) dan Anugrah FIkriansyah (Drum) menyusul untuk dibaptis. Akhirnya sekelompok
pemudah pemarah dan sok tau itu menjadi satu kesatuan, The Jems.
The Jems sudah seperti Binder
Book bagi masing-masing personil The Jems itu sendiri, saling menulis cerita
hidup sehari-hari serta bertukar pengalaman hidup unik layaknya ketika kami
saling bertukar sticker langka Digimon semasa kecil kami, sudah menjadi tugas
mutlak The Jems sebagai sebuah wadah. Hal tersebut bisa dilihat dari bagaimana
album “Buy One Get War” dibuat.
Jauh dari presepsi band hardcore
pada umumnya yang cukup sering mengangkat perihal masalah politik, kekerasan di
sekitar ataupun keinginan bunuh diri, The Jems hadir dengan semangat melawan
kekalahan. Album “Buy One Get War” sendiri merupakan sebuah pengaplikasian
perasaan semu perihal kehidupan di umur 20-an, dimana di umur ini segala hal
menjadi prioritas secara tiba-tiba, seperti gengsi, pamor, kemenangan, bahkan
kelaparan. “Buy One Get War” jadi kanvas kongkret untuk melukis bagaimana kami
sebagai seorang insan menang telak mengalahkan semua problema tersebut.
Pada album ini sendiri, sekali lagi The Jems nampak melakukan eksperimen dengan sok tau saja, sebagaimana The Jems seharusnya. Di album ini The Jems semakin mencoba mendekati beberapa refrensi serta panutanya seperti suara suara dari Thirteen Song milik Fugazi, ataupun dentuman gendering perang milik Champion. Dengan ini mereka seolah melakukan penegasan atas kemenangan telaknya dengan musik yang juga energik dan menggugah amarah ini.
Fucked Up Got Zipped :
Lagu yang menjadi pembuka album
ini bercerita perihal fana-nya materi perkuliahan yang diterima oleh Dito sang
vokalis, dimana dalam hal ini Dito sang vokalis lebih senang mengeksplor dunia
yang mempunyai luas sebesar lima juta kilometer dan mengetahui berbagai hal
didalamnya ketimbang harus membaca buku dengan kertas sebanyak tiga ratus
halaman, dan hanya mendalami satu ilmu saja, ah...sudahlah...
Go Back To The Krü :
Di track kedua, kini giliran
Kesid sang gitaris yang menceritakan kisahnya, dimana dalam hal ini kesid
merasakan angin bebas serta kelegaan tanpa batas selepas menyelesaikan berbagai
urusan kehidupan perkuliahan-nya, dimana sekali lagi, Kesid bisa melakukan
sesuatu tanpa dasar tesis atau teori apapun dan melibas semua hal di depanya
dengan lantang.
Sinatra Versi Plastik :
Di track ketiga, kita kembali ke
Dito sang vokalis, dimana dalam lagu ini bercerita perihal betapa muaknya Dito
mendengar berbagai cerita, dongeng, kisah, atau apapun itu dari jutaan
abang-abang- an yang di temui olehnya, perasaan itu tergambar jelas dari
potongan lirik dari lagu ini yang terdengar lugas, asbun, dan songong, “kau
yang terlalu mid-century, untuk kami yang sudah cyberpunk. Kau yang masih saja
akustik, untuk kami yang sudah modular”.
Sial Besok Senin :
Lagu ini menceritakan bagaimana
Afrizal sang bassist menjalankan kewajibanya sebagai seorang mahasiswa, namun
masih saja mendapat tuduhan yang tidak-tidak dari orang tuanya. Dimana mata sayu
yang tercipta akibat Afrizal yang tanpa henti mengerjakan berbagai tugas yang
diberikan oleh dosen-nya menjadi objek tuduhan tak terarah, dimana Afrizal
dituding menggunakan narkotika hanya karna mata sayu yang ia pakai untuk
mengerjakan seribu tugas dari dosen-nya.
Buy One Get War :
Lagu yang menjadi judul album ini
sendiri bercerita tentang bagaimana laki-laki tanggung yang belum siap menjadi
seorang pria, namun dihadapkan dengan sebuah kondisi yang memaksa dia menjadi
seorang ksatria. layaknya kamikaze, kita hanya punya dua pilihan, berjuang
sampai selesai, atau mati memalukan.
Mental Health :
Lagu ini menceritakan perihal
perjuangan Dito sang vokalis, saat melewati sebuah kondisi yang tidak dia
pernah percaya akan terjadi pada dirinya sendiri. Tak perlu kami jelaskan apa
kondisinya, kalian bisa baca judulnya, memukul kepala dengan mic ketika
melakukan pertunjukan, hingga meninju wajahnya sendiri ketika mengambil verse
dari lagu The Jems, menjadi kebiasaan buruk dari Dito di fase itu. Namun sekali
lagi, kami bisa menang dan keluar dengan bangga.
Negative Conversation :
Lagu ini merupakan bentuk
perlawanan Dito sang vokalis dari lirik-lirik ciptaan Ian Curtis di Joy Division
yang menyerang isi kepala dan cara berfikirnya.
Panduan Hidup Tuan Mckaye :
Lagu ini bercerita tentang
bagaimana The Jems berusaha keras untuk keluar dari semua jeratan yang mencekik
mereka selama ini, seperti egoisme, idealisme yang tak relevan, hingga
ketergantungan terhadap sesuat, dan sekali lagi bisa kami gaungkan dengan
lantang, bahwasanya “kami menang telak” atas semua hal yang terjadi ini.
Pada dasarnya cobaan dalam
kehidupan ada berbagai macam bentuk, berat, serta rasanya, dan lewat album ini,
kami ingin menebar optimisme serta keyakinan pada diri masing-masing pendengar bahwasanya
segala masalah akan berlalu dan kita akan sama-sama menang di akhir hari nanti.