Skena musik emo di Indonesia memiliki perjalanan yang cukup unik, dimulai pada awal 2000-an ketika pengaruh band luar seperti My Chemical Romance, The Used, dan Taking Back Sunday mulai masuk melalui MTV, majalah musik, dan internet. Musik dengan lirik penuh emosi, dipadukan dengan penampilan khas seperti rambut menutupi mata, pakaian gelap, dan eyeliner, mulai mendapat tempat di kalangan anak muda kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Pada masa kejayaannya, sekitar tahun 2005 hingga 2010, banyak band lokal bermunculan dengan gaya emo, screamo, dan post-hardcore seperti Killing Me Inside, Alone At Last, Summerlane, hingga Pee Wee Gaskins. Komunitas ini sangat aktif, sering mengadakan gig kecil di kafe, acara kampus, dan merilis musik secara mandiri lewat MySpace atau forum musik lokal.
Namun, seiring waktu, emo mulai mendapat stigma negatif dan dianggap "alay" oleh media serta masyarakat luas. Birds of Tragedy disini ingin membantah stigma tersebut, emo bukan alay. Emo adalah medium musik yang jujur, emosional, dan personal. Label 'alay' seringkali muncul dari persepsi dangkal terhadap gaya visual: rambut menutupi mata, pakaian gelap, atau dandanan mencolok. Tapi jauh dari itu, esensi EMO ada pada musiknya—pada lirik-lirik yang berani menyuarakan rasa sakit, keraguan, kehilangan, dan harapan. Ini adalah ruang untuk jujur terhadap diri sendiri, bukan sekadar gaya. Menyederhanakan EMO hanya sebagai penampilan berarti mengabaikan kedalaman dan keberanian yang dibawa musik ini.
Birds of Tragedy membawa genre emo dengan sentuhan post-hardcore dan gaya bermain math-rock pada lead-guitar nya. Birds of Tragedy memulai perjalanannya pada mei 2024, disebuah tempat tongkrongan yang kami anggap rumah, di Jakarta Barat. Pertemuan kami berawal dari almamater yang serupa yaitu Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dengan formasi Mellani Marissha pada Vokal, Aveson Baihaqi pada gitar, Shafa J. Firdaus pada gitar, Dimas Kharisma pada drum, dan Tengku Zulkifly pada bass. Mereka disatukan oleh Yonathan Andrew yang melihat potensi yang sama pada Shafa, Aves, dan Dimas, mereka memiliki selera yang memiliki benang merah emo, Shafa dengan Sleeping With Sirens, Saosin, dan Pierce The Veil nya, Aves dengan My Chemical Romance, Neck Deep, dan Blink nya, Dikam dengan Twenty One Pilots, dan Bring Me The Horrizonnya. Shafa, Aves, dan Dikam memutuskan untuk membuat sebuah band, dan Mellani Marissha masuk sebagai vokalis dikarenakan Mellani memiliki selera yang sama, yaitu Paramore. Personil terakhir yang hadir yaitu Teuku Zulkifly, Bassist reggae.
Melalui single perdana, ‘Favorite Place’ Birds of Tragedy ingin menyampaikan kepada para pendengar bahwa tidak apa-apa untuk merindukan seseorang yang sudah pergi, dan tidak apa-apa jika kenangan masih terasa berat. Lagu ini adalah tentang perasaan kehilangan yang dalam, tentang cinta yang pernah membuat kita merasa hidup, namun juga tentang kepergian yang meninggalkan banyak pertanyaan tanpa jawaban. Birds of Tragedy ingin para pendengar tahu bahwa mereka tidak sendirian dalam rasa sedih, bingung, atau bahkan marah atas perpisahan yang tak mereka mengerti. "Favorite Places" adalah pengingat bahwa tempat dan momen yang dulu indah bisa berubah menjadi menyakitkan, tapi itu bukan berarti cinta itu sia-sia. Justru dari kenangan itulah kita belajar—tentang kekuatan, penerimaan, dan perlahan-lahan melepaskan tanpa harus melupakan. Lagu ini bukan hanya curahan luka, tapi juga pelukan bagi siapa pun yang sedang mencoba untuk sembuh.
Favorite place membalut inti dari genre Emo dan Post-Hardcore dengan pendekatan yang lebih teknikal dan progresif—melalui lead guitar yang mengarah ke Mathcore. Setiap ketukan, break, dan tangga nada bukan hanya eksplorasi teknis, tetapi cara kami membicarakan rasa kehilangan, marah, dan keterasingan dengan bahasa musik. Alih-alih sekadar menjadi keras atau cepat, musik kami mencoba menjadi ruang yang jujur untuk meledakkan rasa dan merangkai kekacauan dengan struktur. Kami tidak takut bermain di ruang yang gelap dan tidak nyaman, karena di sanalah kejujuran sering kali ditemukan. Dengan identitas ini, kami berharap pendengar tidak hanya mendengar, tetapi juga merasakan.
Proses produksi single ‘Favorite Place’ dimulai pada tanggal 11 Februari 2025 berlokasikan di Timur Sound Space. Single ini diproduseri oleh Fathan Haikal Mardiananto. Artwork Birds of Tragedy di buat dengan baik oleh Adinda Carolia dan tetap membawa ciri khas emo dengan nuansa hitam putih.
Dengan rilisnya ‘Favorite Place’ ini, Birds of Tragedy ingin pendengar merasakan emosi yang diberikan, dan mencoba jujur dengan perasaan yang dirasakan pendengar, dan mulai berdamai dengan hal hal yang sudah terjadi.
“Ini lagu yang paling jujur yang pernah aku tulis. Tentang rasa kehilangan yang nggak bisa dijelasin, tentang tempat-tempat yang dulu indah tapi sekarang justru nyakitin karena terlalu banyak kenangan.Kalau kamu pernah ngerasa ditinggal, nggak ngerti kenapa semuanya harus berakhir, atau cuma pengin ngerasain lagi luka yang belum sembuh... lagu ini buat kamu.."
Birds of Tragedy juga turut mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu, serta rekan-rekan media, radio, penyelenggara event, dan pihak-pihak lainnya yang sudah membantu kegiatan promosi single ‘Favorite Places’ dari Birds of Tragedy. ‘Favorite Places’ oleh Birds of Tragedy dapat didengarkan di semua platform streaming musik digital per tanggal 11 Juli 2025.